Misteri keris setan kober bab 10 - Keris setan kober misterius - Cerita mistis keris setan kober - Kisah misteri keris setan kober - Misteri stean kober - Misteri keris pusaka setan kober - Misteri sejarah tentang keris setan kober - Keris setan kober arya pinangsang - Pusaka keris setan kober.
BAB 4 : LURAH WIRA TAMTAMA 2
Ditulis oleh : Apung GWAP
"Ayo Ki Lurah Karebet, jangan takut melihat darah, pakailah pedang, golok, tombak, keris, jangan pakai sadak kinang, ha ha kau ini orang yang lucu sekali Ki Lurah" kata Dadung Awuk masih bicara sambil tertawa berkepanjangan.
"Kalau kau kurang puas Ki Lurah Karebet, kau boleh pakai keris2 pusaka, Kyai Sangkelat, Kyai Condong Campur, Kyai Nagasasra, Kyai Sabuk Inten, silahkan tusukkan ke dadaku" kata Dadung Awuk yang merasa ilmu kebalnya tak akan pernah bisa tertembus.
"Dadung Awuk, aku akan memukulmu dengan memakai sadak kinang, apakah kau kuat menerima pukulan sadak kinang ini didadamu" kata Lurah Karebet dan iapun mengumpulkan semua kekuatan yang ada pada dirinya dan dipusatkan di telapak tangan kanannya.
"Baik, cepatlah Ki Lurah Karebet, aku tidak sabar lagi, cepat pukul dadaku sekuat tenagamu" tantang Dadung Awuk.
Lurah Karebet ragu-ragu, sadak kinang itu dijepit dengan dua jarinya , hanya dipegang saja, tidak dipukulkan ke Dadung Awuk.
"Ayo Ki Lurah Karebet, cepat pukul aku, kalau kau tidak berani memukul aku, berarti sebenarnya kau adalah seorang perempuan dari Pengging" kata Dadung Awuk.
"Kau memang sudah keterlaluan Dadung Awuk, baik aku turuti permintaanmu, kau akan kupukul dengan sadak kinang, awas tahan pukulanku ini" kata Lurah Karebet, lalu sadak kinang yang dijepit dengan dua jari dipukulkan ke dada Dadung Awuk yang bertubuh tinggi besar.
Dadung Awuk tertawa berkepanjangan, dia percaya sepenuhnya kepada ilmu kebalnya, ketika Lurah Karebet memukul dadanya dengan sadak kinang, Dadung Awuk dengan penuh percaya diri membusungkan dadanya, sehingga dadanya maju kedepan dua jari.
Pukulan sadak kinang yang dipegang Lurah Karebet mengenai dada Dadung Awuk, dan ternyata ada yang diluar perhitungan Lurah Karebet, karena bersamaan dengan datangnya pukulan sadak kinang, Dadung Awuk membusungkan dadanya, maka secara tidak sengaja telapak tangan Lurah Karebet menyentuh dada
Dadung Awuk, hanya menyentuh, tetapi akibatnya diluar dugaan Lurah Karebet sendiri.
Sentuhan tangan Lurah Karebet di dada Dadung Awuk, merupakan sebuah kesalahan Lurah Karebet yang terbesar, kesalahan itu sudah terjadi dan tidak bisa diperbaiki, tidak bisa diulang kembali.
Ketika dada Dadung Awuk tersentuh tangan Lurah Karebet, suara tertawanya terhenti, dia merasakan dadanya seperti tertimpa bukit Sumawana yang runtuh, dan setelah itu semuanya terasa gelap.
Dadung Awuk terlempar kebelakang, jatuh terlentang di lantai dan tidak dapat bangun kembali.
Lurah Karebet terkejut ketika melihat akibat dari sentuhan tangannya pada dada Dadung Awuk.
Demikian pula dengan Lurah Wirya, Lurah Mada dan seorang prajurit Wira Tamtama yang berada di ruangan itu juga terkejut ketika melihat akibat yang terjadi setelah dada Dadung Awuk terkena sadak kinang yang dipegang oleh Lurah Karebet.
Prajurit yang ada didalam ruangan itu mendekati Dadung Awuk, meraba dadanya, dan iapun berkata :"Dadung Awuk sudah mati"
Semuanya tertegun tidak tahu harus berbuat apa, sampai kemudian terdengar suara Karebet pelan :"Apa boleh buat, aku yang membunuh Dadung Awuk, akulah yang harus bertanggung jawab".
"Bukan kesalahanmu seluruhnya Ki Lurah, sikap Dadung Awuk terlalu sombong dan memancing persoalan" kata Ki Lurah Wirya.
"Aku menjadi saksi, Dadung Awuk yang telah memaksa untuk diikutkan pendadaran besok pagi" kata Lurah Mada
"Ya, apapun alasannya, Dadung Awuk sudah terlanjur mati, akulah yang bertanggung jawab, sekarang kita angkat Dadung Awuk ke atas amben" kata Lurah Karebet.
Lalu mereka berempat mengangkat Dadung Awuk yang sudah tak bernapas ke atas amben.
"Ki Lurah Karebet, kau tunggu disini dulu, aku bersama Ki Lurah Mada akan menghadap Tumenggung Gajah Birawa" kata Lurah Wirya.
Setelah itu dua orang Lurah disertai seorang prajurit bergegas menghadap Tumenggung Gajah Birawa di ruang Wira Tamtama.
Di ruangan itu, sekarang hanya tinggal Lurah Karebet yang termenung lesu menunggu datangnya dua orang Lurah yang melapor ke ruang Wira Tamtama. Angan-angannya melayang-layang, teringat kepada biyungnya yang semakin tua dan tinggal di Tingkir, pamannya Ganjur yang tinggal di Suranatan, pamannya Kebo Kanigara yang sekarang tidak diketahui keberadaannya. Putri Sekar Kedaton yang malam nanti menunggu kedatangannya di kaputren, dan yang terakhir pandangannya menerawang, melihat Dadung Awuk yang telah dibunuhnya dengan sadak kinang.
Ada rasa menyesal, tetapi semua sudah terlanjur dan Dadung Awuk tidak bisa hidup kembali.
"Entah hukuman apa yang nanti akan aku terima dari Kanjeng Sultan Trenggana" kata Karebet didalam hatinya.
"Kenapa tadi aku menyentuh dadanya? Sebetulnya tadi lebih baik kalau aku bakar saja tangannya dengan aji Hasta Dahana. Yah percuma saja aku menyesal, semuanya telah terjadi, dan kini aku yang harus bertanggung jawab" kata Lurah Karebet.
Tidak lama kemudian, prajurit yang pergi bersama Lurah Wirya telah datang.
"Ki Lurah Karebet dipanggil Tumenggung Gajah Birawa, disini biar aku yang jaga" kata prajurit itu.
Dengan lesu Lurah Karebet bangkit menuju Kraton dan berjalan menuju ruang Wira Tamtama.
Ketika Lurah Karebet masuk ke ruangan, disana ada Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Suranata, Lurah Wirya dan Lurah Mada.
"Duduklah Ki Lurah Karebet" kata Tumenggung Gajah Birawa, dan Lurah Karebetpun duduk didepan Ki Tumenggung.
"Kau tahu kenapa kau kupanggil ki Lurah? tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung, aku telah membunuh Dadung Awuk" kata Lurah Karebet.
"Ya, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada telah cerita panjang lebar, memang sebetulnya kesalahan tidak bisa ditimpakan kepadamu semuanya, tetapi yang telah terjadi adalah, Dadung Awuk telah mati karena kau pukul dengan sadak kinang, secara sengaja ataupun tidak sengaja" kata Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung" kata Lurah Karebet.
"Semua keputusan ada pada Kanjeng Sultan, kau tunggu disini dulu, aku bersama Ki Tumenggung Suranata serta Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada akan menghadap Kanjeng Sultan, biar nanti Ki Lurah berdua yang akan menjadi saksi, bercerita langsung kepada Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Sesaat kemudian empat orang itupun berjalan menuju ruang dalam, meninggalkan Lurah Karebet yang termenung sendiri di ruang Wira Tamtama.
Setelah agak lama, baru terlihat mereka berempat keluar dari ruang dalam, setelah baru saja menghadap Kanjeng Sultan.
Dari ruang dalam, Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Suranata beserta Lurah Wirya dan Lurah Mada, berjalan menuju ruang Wira Tamtama.
Di ruang itu, Tumenggung Gajah Birawa menyampaikan keputusan Kanjeng Sultan mengenai hukuman yang harus dijalani oleh Karebet yang secara tidak sengaja telah membunuh Dadung Awuk.
"Itu keputusan hukuman dari Kanjeng Sultan yang harus kau jalani, kau terima hukuman ini Ki Lurah Karebet?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung, aku terima hukuman ini, dan atas kejadian tadi, dengan ini saya minta maaf kepada Ki Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Suranata, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada " kata Lurah Karebet.
"Satu permintaan saya kepada Tumenggung Gajah Birawa, mohon disampaikan permohonan maaf saya kepada Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Baik Ki Lurah Karebet, besok akan saya sampaikan kepada Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Waktu terus berjalan, siang telah berganti menjadi sore, matahari sudah hampir tenggelam di cakrawala sebelah barat, saat itu terlihat Nyai Madusari berjalan pulang kerumahnya melewati pintu gerbang kraton.
Setelah agak jauh dari pintu gerbang Nyai Madusari terkejut ketika dari balik pohon muncul seorang pemuda membawa sebuah bungkusan, pemuda yang telah dikenalnya, tiba-tiba saja telah berdiri didepannya.
"E e e tobil anak kadal, kaget aku, ternyata kau Ki Lurah Karebet" kata Nyai Madusari.
"Nyai Madusari" kata Karebet.
"Ada apa Ki Lurah Karebet" tanya Nyai Madusari.
"Nyai......" kata Karebet.
"Ki Lurah, saat ini Ki Lurah harusnya belum pulang dari Kraton, dan kenapa Ki Lurah tidak memakai pakaian Lurah Wira Tamtama?" tanya Nyai Madusari.
"Nyai, aku sekarang bukan seorang Lurah lagi, dan aku sekarang juga bukan seorang Wira Tamtama lagi" kata Karebet.
" Apa yang telah terjadi Ki Lurah Karebet" tanya Nyai Menggung.
"Tadi siang, di dalem lor telah terjadi suatu peristiwa yang tidak saya duga sebelumnya" kata Karebet.
Maka berceritalah Karebet kepada Nyai Madusari, purwa madya wasana, sehingga dia dihukum oleh Kanjeng Sultan.
"Itulah yang telah terjadi Nyai, tanpa aku sengaja, Dadung Awuk telah terbunuh karena terkena tanganku" kata Karebet.
Mendengar cerita Karebet, Nyai Madusari tidak bisa berkata apapun juga, mulutnya seakan-akan terkunci, perasaannya seperti sebuah gerabah yang terbanting diatas batu hitam, hancur berkeping-keping.
"Nyai, kalau Nyai Madusari nanti bertemu Ki Lurah Wirya atau Ki Lurah Mada, Nyai bisa bertanya kepadanya tentang kejadian siang tadi, dan saat ini aku sedang menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh Kanjeng Sultan, aku telah diberhentikan dari Wira Tamtama, tidak boleh berada dalam kotaraja Demak, dan malam ini juga aku harus keluar dari kotaraja Demak" kata karebet.
"Tolong sampaikan semua yang aku ceritakan tadi kepada Gusti Putri, dan bilang ke Gusti Putri, saat ini aku sedang menjalani hukuman, nanti beberapa candra lagi aku pasti akan kembali lagi ke kotaraja Demak" kata Karebet
"Sudah Nyai, aku pergi dulu" kata Karebet.
Nyai Madusari tidak mampu berkata apapun, hanya matanya yang menjadi basah, ketika melihat Karebet dengan membawa sebuah bungkusan, pergi ke arah selatan seorang diri.
Setelah Karebet melangkah pergi, maka Nyai Madusari dengan ter-gesa2 kembali ke Kaputren, untuk menemui Gusti Sekar Kedaton.
Dengan langkah yang cepat, Nyai Madusari berjalan menuju ke Kraton.
Di pintu gerbang Kraton, prajurit penjaga pintu gerbang heran melihat nyai Madusari berjalan kembali ke Kraton, dan iapun bertanya kepadanya :"Lho Nyai Menggung berjalan tergesa-gesa seperti sedang dikejar demit, ada apa ? Kenapa kembali lagi ?"
"Cincinku ketingalan di kaputren" jawab Nyai Madusari.
"Halaaaah cuma sebuah cincin saja, tidak usah dicari, besok kalau aku punya uang, Nyai Menggung aku belikan cincin lagi" kata prajurit penjaga pintu gerbang.
"E e , cincin itu peninggalan Kanjeng Tumenggung, tidak bisa ditukar dengan cincin yang lain, dulu kau pernah berjanji padaku mau membelikan gelang, sampai sekarang, kau belum beli gelang itu" jawab Nyai Madusari.
"Aku kan bilang belinya besok, bukan sekarang" kata prajurit itu sambil tertawa perlahan.
Nyai Madusari meninggalkan prajurit itu sambil bersungut-sungut dan dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke Kaputren..
Penjaga pintu gerbang hanya tersenyum, melihat Nyai Madusari bergegas menuju ke Kaputren.
Ketika Nyai Madusari sedang berjalan, dipojok kaputren dia bertemu dengan Lurah Mada.
"Ki Lurah Mada" panggil Nyai Madusari. "Ya Nyai" kata Lurah Mada.
"Ki Lurah, bagaimana ceritanya sampai Karebet bisa mendapat hukuman dari Kanjeng Sultan, apa yang sebenarnya terjadi Ki Lurah?" tanya Nyai Madusari.
Lurah Madapun bercerita mulai awal sampai Karebet secara tidak sengaja membunuh Dadung Awuk.
"Bukan salah Karebet Nyai, Dadung Awuk memang terlalu sombong, waktu itu akupun juga marah kepadanya" kata Lurah Mada.
"Ya Ki Lurah" jawab Nyai Madusari.
"Karebet tidak punya niat untuk membunuh Dadung Awuk" kata Lurah Mada.
"Ya Ki Lurah, tapi semuanya sudah terlanjur, hukuman dari Kanjeng Sultan sudah dijatuhkan" kata Nyai Madusari.
"Ya, bukan kesalahan Karebet semuanya, sekarang Karebet sudah dihukum, sudah tidak menjadi seorang prajurit Wira Tamtama, dan tidak boleh berada di kotaraja Demak" kata Ki Lurah.
Keduanya berdiam diri, semuanya menyayangkan kenapa hal itu bisa terjadi.
"Nyai... aku mau pulang dulu" kata Lurah Mada.
"Ya Ki Lurah" kata Nyai Menggung dan merekapun kemudian berpisah, Ki Lurah menuju keluar, Nyai Madusaripun menuju Kaputren.
Di Kaputren, Gusti Putri Sekar Kedaton heran ketika melihat Nyai Madusari kembali lagi ke Kaputren.
"Ada apa Nyai kembali lagi? tanya Sekar Kedaton.
"Karebet Gusti, Karebet" kata Nyai Madusari sambil matanya berkaca-kaca.
"Ada apa dengan kakang Karebet" tanya Mas Cempaka.
Nyai Madusaripun bercerita seperti cerita yang didengarnya dari Karebet maupun dari Lurah Mada. Ketika Nyai Madusari berbicara sambil menangis dihadapan Putri Sekar Kedaton, pada saat yang bersamaan Karebet sedang berjalan kaki kearah selatan, keinginannya saat itu cuma satu, ingin secepat-cepatnya meninggalkan kotaraja Demak, untuk menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Kanjeng Sultan Trenggana.
Terasa betapa Kanjeng Sultan telah melimpahkan kasih kepadanya, karena kesalahannya tidak sengaja membunuh Dadung Awuk, hanya dihukum dengan hukuman yang ringan, melepas pakaian Wira Tamtama dan tidak boleh berada di kotaraja Demak tanpa batas waktu.
Alangkah ringannya hukuman itu, meskipun Karebet juga tahu, hukuman ringan itu tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh Lurah Wirya dan Lurah Mada ketika bersaksi dan bercerita dihadapan Kanjeng Sultan.
Sambil terus berjalan, Karebet teringat, sebelum bertemu Nyai Madusari, ia baru saja dia berpamitan kepada pamannya Ganjur di dalem Suranatan,
Pamannya Ganjur juga berpesan, pintu Kasultanan Demak belum tertutup sama sekali, tinggal mencari waktu yang tepat untuk kembali menjadi Lurah Wira Tamtama Demak.
Menurut Ganjur, Karebet membutuhkan waktu beberapa candra sampai situasi memungkinkannya untuk kembali sowan Kanjeng Sultan Trenggana.
Pamannya juga memberinya bekal beberapa ontong jagung, yang bisa dimakan nanti diperjalanan.
Karebet berjalan terus kearah selatan, ketika sampai di daerah desa Gubug, daerah yang dekat dengan Mrapen, maka Karebetpun beristirahat dan berusaha untuk bisa memejamkan matanya.
Duduk bersandar pada sebuah pohon, Karebet berusaha untuk bisa tidur, tetapi tampaknya angan-angan Karebet mengembara, menyusuri peristiwa demi peristiwa, sampai angan-angannya terhenti pada Sekar Kedaton, Gusti Putri Mas Cempaka.
"Kasihan diajeng Cempaka" kata Karebet dalam hati.
Malam semakin kelam, ketika hampir fajar, hanya sebentar Karebet bisa tertidur, ketika menjelang fajar, Karebetpun terbangun, sinar mataharipun redup, sepertinya menyesali apa yang telah dilakukan oleh Karebet.
Hari itu Karebet sepertinya tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dia hanya berjalan berputar-putar didaerah sekitar desa Gubug.
Di desa Gubug, Karebet tidur di pohon atau di atas batu besar di tepi sungai, makan apa saja yang bisa dimakan, ketika jagung pemberian Ki Ganjur sudah habis, diapun makan seadanya, buah-buahan hutan, atau umbi-umbian yang diambil dari tanaman liar disepanjang tepi sungai Tuntang.
Setelah tinggal disana selama dua pasar, Karebetpun berjalan melanjutkan ayunan langkah kakinya, meninggalkan desa Gubug, Karebet berjalan ke arah selatan, dan tidak lama kemudian, iapun tiba di desa Cengkal Sewu.
Sama seperti ketika didesa Gubug, didesa Cengkal Sewu, Karebet masih berjalan berputar-putar disekitar daerah itu, berjalan tak tentu arah, kadang-kadang berdiam diri, merenung dan semua itu dilakukan selama hampir tiga pasar.
Setelah itu, timbul keinginannya untuk pergi ke arah barat daya, ke daerah kaki gunung Merapi.
Keesokan harinya, Karebet mulai meninggalkan desa Cengkal Sewu, pergi berjalan kaki ke arah gunung Merapi.
Dari desa Cengkal Sewu, Karebetpun menyeberangi sungai, lalu berjalan menuju desa Sima, setelah itu dilanjutkan berjalan ke arah barat daya, menuju kaki gunung Merapi sebelah tenggara.
Karebet sengaja tidak mengunjungi biyungnya di desa Tingkir, dia tidak ingin membuat biyungnya bersedih mendengar cerita dirinya diusir dari kotaraja Demak.
Karebet tidak mempunyai tujuan kemanapun, hanya menuruti langkah kaki yang membawanya menuju daerah sebelah tenggara di kaki gunung Merapi.
Matahari baru saja terbenam ketika Karebet masuk hutan, didepannya gagah berdiri gunung Merapi.
"Sebentar lagi aku akan sampai di desa Butuh, hari sudah gelap, aku beristirahat disini saja" dan Karebetpun memilih bermalam di atas sebuah pohon.
Malam itu, seperti pada malam-malam sebelumnya, Karebet merasa disekelilingnya gelap dan sepi, rembulanpun terlihat sedang bersembunyi dibalik awan.
Keesokan harinya, ketika matahari mulai menyinari bumi, Karebet berjalan meninggalkan hutan, kakinya melangkah perlahan-lahan menuju ke arah barat.
"Ini adalah daerah kaki gunung Merapi sebelah tenggara" kata Karebet dalam hati.
Ketika akan memasuki desa Butuh, Karebet melihat, agak jauh didepannya terlihat ada seorang yang berjalan menuju ke arahnya dan sebentar lagi orang tersebut akan berpapasan dengannya.
Karebet melihat orang itu sudah tua dan orang itupun melihat kearahnya tanpa berkedip, dan sekarang semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat.
Ketika jarak keduanya sudah semakin dekat dan orang itu masih memperhatikan wajahnya, maka Karebetpun bersiaga, karena ia merasa tidak mengenalnya, dan tidak tahu maksud orang itu sebenarnya.
Ketika sudah berhadapan, orang itupun berkata kepada Karebet. "Berhenti dulu Ki Sanak" kata orang tua tersebut.
"Anak muda, wajahmu pucat, tetapi mengingatkanku kepada wajah seseorang, apakah kau kenal dengan orang yang bernama Ki Kebo Kenanga atau yang sering dipanggil dengan nama Ki Ageng Pengging?" tanya orang tua itu.
"Nama saya Jaka Tingkir tetapi siapakah siwa ini, dan ada hubungan apa dengan Ki Ageng Pengging" kata Karebet, tanpa meninggalkan kewaspadaan.
"Aku tinggal di desa Butuh, dan orang-orang memanggilku Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging adalah sedulurku sinarawedi, dia adalah saudara seperguruanku ketika kami masih muda dulu. Siapakah sebenarnya kau anak muda, wajahmu persis seperti wajah Ki Ageng Pengging sewaktu masih muda dulu ?" tanya Ki Ageng Butuh.
"Nama pemberian orang tua saya adalah Karebet, tetapi saya sering dipanggil Jaka Tingkir, saya sebenarnya adalah putra Ki Ageng Pengging" kata Karebet.
Mendengar jawaban Karebet, Ki Ageng Butuh mendekat dan memeluk badan Karebet, dan dimatanya mengembun titik air mata.
"Nakmas Karebet, nakmas adalah putra Ki Ageng Pengging, berarti nakmas adalah sama dengan anakku" kata Ki Ageng Butuh.
"Akhirnya mimpiku setiap malam selama beberapa hari ini menjadi kenyataan, mari nakmas kita kerumah dulu" kata Ki Ageng Butuh.
Ki Ageng Butuh lalu berbalik arah, mengajak Karebet ke rumahnya, sebuah rumah yang besar di desa Butuh.
"Nanti saja kita cerita, sekarang nakmas Karebet mandi saja dulu, setelah itu baru makan" kata Ki Ageng Butuh.
Sambil menunggu Karebet mandi, Ki Ageng Butuhpun menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makanan untuk Karebet.
Tidak lama kemudian, Ki Ageng Butuh dan Karebet telah duduk di amben di pendapa.
"Nakmas cepat sekali makannya" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng, sudah kenyang" kata Karebet.
"Nah sekarang nakmas Karebet silakan cerita, kenapa nakmas bisa sampai di desa Butuh" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya, setelah ayah Ki Ageng Pengging meninggal, saat itu saya baru berumur tiga tahun, kemudian saya dijadikan anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir yang sudah janda, dan sayapun dibawa ke desa Tingkir, dan disana saya dipanggil Jaka Tingkir" kata Karebet mulai bercerita.
Kemudian Karebet bercerita dari awal sampai sekarang, sampai dia bisa bertemu dengan Ki Ageng Butuh di tepi desa Butuh.
"Jadi Kanjeng Sunan Kalijaga pernah mengatakan kau akan menjadi raja ?" tanya Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng, tapi saat ini saya sedang menjalani hukuman dari Kanjeng Sultan, saya diusir dari kotaraja Demak tanpa batas waktu" kata Karebet.
"Ya nakmas, tapi itu bukan berarti tidak boleh bertemu dengan Kanjeng Sultan diluar kotaraja Demak" kata Ki Ageng Butuh
"Nakmas Karebet, sebetulnya Ki Ageng Pengging masih punya satu orang lagi sedulur sinarawedi, yaitu Ki Ageng Ngerang, dia juga sering berangan-angan bertemu denganmu, nanti biar aku menyuruh orang untuk memberitahukan kedatanganmu" kata Ki Ageng Butuh.
Ki Ageng Butuh lalu memanggil pembantunya, lalu disuruhnya menemui Ki Ageng Ngerang untuk mengabarkan kedatangan Karebet, yang saat ini berada dirumahnya.
"Kau kesana naik kuda, biar cepat" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng" kata pembantunya. Sesaat kemudian, seorang yang duduk diatas punggung kuda keluar dari halaman rumah Ki Ageng Butuh menuju rumah Ki Ageng Ngerang.
"Nakmas Karebet, untuk sementara tinggallah disini dulu dua atau tiga candra, sambil memikirkan langkah apa yang akan nakmas lakukan untuk kembali ke lingkungan Kraton Demak" kata Ki Ageng Butuh.
"Baik Ki Ageng" kata Jaka Tingkir.
Dilangit matahari sudah semakin tinggi ketika dua ekor kuda memasuki halaman rumah Ki Ageng Butuh.
Ketika dua ekor kuda sudah berhenti, dan kedua penunggangnya sudah turun, salah seorang penunggangnya lalu memegang tali kendali kuda dan ditambatkan pada tonggak kayu disamping rumah, sedangkan yang seorang lagi dengan tergesa-gesa naik ke pendapa langsung memeluk Karebet sambil berkata: "Akhirnya aku ketemu juga dengan anakku Karebet" kata pengunggang kuda yang naik ke pendapa, Ki Ageng Ngerang.
Sesaat kemudian Ki Ageng Ngerang melepaskan pelukannya, dan iapun bertanya kepada Ki Ageng Butuh;"Bagaimana ceritanya, kakang bisa bertemu dengan Karebet?"
"Ya adi, entah kenapa, pagi tadi aku berjalan kearah timur, padahal aku tidak punya keperluan apapaun juga, ketika sampai diluar desa Butuh, aku bertemu dengan angger Karebet".
"Ketika aku melihat nakmas Karebet, seakan-akan aku melihat Ki Ageng Pengging, teringat sewaktu kita semua masih berusia muda. Lalu nakmas Karebet aku ajak kerumah, begitulah ceritanya adi, tetapi pada saat ini nakmas Karebet sedang mengalami kesulitan dalam perjalanan hidupnya, dia sedang mendapat sebuah masalah yang besar" kata Ki Ageng Butuh, dan iapun bercerita tentang perjalanan Karebet sampai bertemu dengannya.
Ki Ageng Ngerang mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian, setelah Ki Ageng Butuh selesai bercerita, Ki Ageng Ngerangpun menarik nafas panjang sambil berkata :"Ini persoalan yang rumit, pintu ke Kraton belum tertutup rapat, masih ada kesempatan, tetapi perlu perhitungan yang matang, jadi saat ini nakmas Karebet tidak boleh bertindak tergesa-gesa".
"Ya, nakmas Karebet biar tinggal disini dulu dua tiga candra, menentramkan pikirannya dulu, biar tidak terlalu gelisah dan bisa beristirahat di desa Butuh" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya, besok aku akan sering kesini untuk menemani nakmas Karebet" kata Ki Ageng Ngerang.
"Ya, terima kasih Ki Ageng berdua, aku telah diperbolehkan tinggal disini" kata Karebet.
Demikianlah, mulai saat itu Karebet untuk sementara tinggal di rumah Ki Ageng Butuh.
Beberapa hari setelah Karebet tinggal untuk sementara di desa Butuh, di Kraton Demak, ada sebuah peristiwa yang membuat Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari menjadi cemas.
Tiga empat pasar setelah Karebet diusir dari kotaraja Demak, Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka terbaring sakit.
Pagi itu, di Kaputren, Sekar Kedaton masih terbaring lemah di tempat tidur, ditunggu oleh Nyai Madusari beserta seorang emban.
Saat itu Sekar Kedaton yang sedang sakit, menerima kunjungan ibundanya, Kanjeng Prameswari, yang disertai oleh dua orang embannya. "Kau sakit ajeng" kata Kanjeng Prameswari, sambil memijit tangan putrinya.
"Tidak kanjeng ibu, saya tidak sakit" jawab Sekar Kedaton.
"Nanti biar ayahanda Sultan mencarikan jamu buatmu" kata Kanjeng Prameswari.
"Tidak usah Kanjeng ibu, saya tidak sakit" kata Putri Mas Cempaka.
"Ya sudah, ajeng istirahat dulu, sebaiknya ajeng jangan terlalu banyak pikiran" kata Kanjeng Prameswari.
"Emban, Gusti Putri sudah makan?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Sudah Gusti, tadi sudah makan bubur sedikit" kata emban Kaputren.
Beberapa saat kemudian, Kanjeng Prameswari pamit dan kembali ke ruang dalam,
Diruang dalam, Kanjeng Prameswari bercerita kepada Kanjeng Sultan, tentang sakit yang diderita oleh Sekar Kedaton.
"Ratu, kita harus berusaha untuk mendapatkan jamu yang tepat untuk Sekar Kedaton" kata Kanjeng Sultan.
"Kanjeng Sultan, kalau bisa dicarikan jamu sekarang, biar cepat sembuh" tanya Kanjeng Prameswari.
"Ya Ratu, nanti akan kupanggilkan dukun Kraton, Nyai Tamba, untuk membuatkan jamu untuknya" kata Kanjeng Sultan.
Setelah itu Kanjeng Sultanpun menuju keluar dan memanggil seorang prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas :" Prajurit, panggil Nyai Tamba untuk menghadapku sekarang juga"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumpak, prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas di ruang dalam, dan iapun segera berjalan menuju rumah Nyai Tamba.
Tidak jauh dari Kraton, di sebuah rumah yang terletak disebelah barat Kraton, terlihat seorang laki-laki tua bertelanjang dada, wajahnya bersih, rambut nya sudah memutih, sedang menjemur bahan jamu, daun sambilata, kayu secang, bratawali, tapak liman, temu ireng dan beberapa bahan jamu yang lain.
Ketika orang tua itu melihat seorang prajurit Wira Tamtama menuju ke rumahnya, maka iapun segera mempersilahkan untuk masuk ke rumahnya.
"Kau Tumpak, mari masuklah ke rumah dulu" katanya ramah mempersilahkan Tumpak untuk masuk ke rumah.
Setelah prajurit Wira Tamtama itu duduk, maka bertanyalah orang tua itu kepadanya :" Ada perlu apakah kau menemuiku, apakah Kanjeng Sultan memanggilku?"
"Yang dipanggil bukan Ki Tamba, tetapi Nyai Tamba yang diperintahkan untuk menghadap Kanjeng Sultan sekarang juga" kata prajurit itu.
"Baik, tunggu sebentar" kata Ki Tamba, kemudian iapun masuk kedalam rumah dan berkata kepada istrinya.
"Nyai, kau dipanggil menghadap Kanjeng Sultan sekarang" kata Ki Tamba.
"Ya Ki." Kata Nyai Tamba.
Kemudian dari dalam rumah keluar seorang perempuan tua, meskipun rambut sudah memutih, tetapi masih terlihat sehat.
"Kau Tumpak" kata Nyai Tamba.
"Ya Nyai, Nyai dipanggil Kanjeng Sultan, sekarang juga" kata Tumpak.
"Ya" kata Nyai Tamba.
Tidak lama kemudian terlihat dua orang sedang berjalan meninggalkan rumah Ki Tamba menuju Kraton.
Setelah memasuki pintu gerbang Kraton, mereka berdua sampai di halaman Kraton, segera Nyai Tamba berjalan menuju ke ruang dalam, dan Kanjeng Sultanpun memerintahkan Nyai Tamba untuk segera masuk ke dalam ruangan.
"Nyai Tamba" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba yang duduk bersimpuh di depan Kanjeng Sutlan.
"Kau kupanggil ke Kraton, karena saat ini putriku, Sekar Kedaton, sudah beberapa hari ini menderita sakit, coba kau periksa dan kau buatkan jamu untuknya" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba.
"Nanti kau akan diantar ke kaputren oleh emban prameswari, kau tunggu diluar dulu" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan. Lalu Nyai Tambapun menyembah dan bergeser kearah pintu, dan keluar menunggu didepan pintu.
Tak lama kemudian seorang emban prameswari keluar dari ruang dalam dan berjalan menuju ke arah Nyai Tamba.
"Nyai Tamba" panggil emban yang baru keluar dari ruang dalam :""Mari aku antar Nyai ke Kaputren"
"Ya emban" jawab Nyai Tamba.
Setelah itu emban prameswari bersama Nyai Tamba berjalan berdua menuju ke Kaputren.
Di Kaputren, Nyai Tamba masuk ke kamar Sekar Kedaton, terlihat Sekar Kedaton terbaring lemah.
"Maaf Gusti Putri, saya diperintahkan kesini oleh Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba.
Nyai Tambapun duduk disampingnya dan iapun menempelkan punggung telapak tangannya di dahi Sekar Kedaton.
"Agak hangat" kata Nyai Tamba.
"Aku tidak sakit Nyai" kata Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka.
Setelah itu Nyai Tambapun meraba kaki dan tangan Sekar Kedaton, dan semua bagian tubuh Sekar Kedaton yang dipegang Nyai Tamba terasa hangat, ternyata Sekar Kedaton sedang menderita demam.
"Hangatnya merata, emban, kalau badan Gusti Putri terasa demam, sediakan kain basah, setelah kainnya diperas, lalu tempelkan ke dahi atau bagian tubuh lainnya yang terasa panas" kata Nyai Tamba kepada emban Kaputren yang duduk di dekat kaki Sekar Kedaton.
"Ya Nyai" kata emban Kaputren.
"Coba kau ambil dulu sepotong kain berukuran kecil, dan sediakan juga sebuah cawan berisi air" kata Nyai Tamba.
Embanpun segera mengambil sepotong kain berukuran kecil dan sebuah cawan yang berisi air, kemudian diberikannya cawan dan kain itu kepada Nyai Tamba.
Nyai Tamba lalu menyelupkan kain kecil itu didalam air, setelah diperas, lalu di tempelkan didahi Sekar Kedaton.
"Emban, kau lakukan seperti ini kalau Gusti Putri demam" kata Nyai Tamba.
"Ya,Nyai" jawab emban Kaputren.
"Kau harus perhatikan waktunya makan Gusti Putri, jangan sampai Gusti Putri terlambat makan bubur" kata Nyai Tamba.
"Ya Nyai"
"Saya akan pulang dulu Gusti Putri, biar emban yang melanjutkan menempelkan kain basah ini. Dirumah nanti saya akan merebus jamu, setelah jamu sudah siap, nanti akan saya bawa kesini" kata Nyai Tamba kepada Sekar Kedaton.
"Ya Nyai" kata Gusti Putri.
Nyai Tamba lalu pamit kepada Sekar Kedaton, lalu iapun keluar ruangan berdua dengan emban prameswari, lalu iapun berjalan pulang sendiri ke rumahnya yang terletak disebelah barat Kraton.
Dirumahnya, Nyai Tamba lalu memilih beberapa bahan jamu, kemudian bahan-bahan jamu itu direbus menjadi satu didalam sebuah tempat yang terbuat dari gerabah,
Tak lama kemudian, setelah jamu sudah siap, terlihat Nyai Tamba berjalan kembali menuju ke Kaputren sambil membawa sebuah tempat kecil berisi ramuan jamu yang telah direbus.
"Nyai Tamba berjalan ke Kaputren sendiri ? Tidak diantar emban ?" tanya prajurit penjaga Kaputren.
"Ya, sekarang aku sendiri, tadi sudah diantar emban prameswari, aku kesini besok sehari dua kali, pagi dan sore" kata Nyai Tamba.
Lalu Nyai Tambapun masuk ke kamar Sekar Kedaton, dan memberikan jamu tersebut kepada emban yang sedang menunggu Gusti Putri Mas Cempaka.
Emban Kaputren lalu menuangkan sedikit jamu itu kedalam sebuah cawan kecil, dan iapun minum sedikit, mencicipi jamu yang nantinya akan diberikan kepada Sekar Kedaton.
Beberapa saat kemudian setelah emban kaputren minum jamu dari Nyai Tamba, tidak terjadi apapun juga, maka Sekar Kedatonpun minum jamu yang telah dibuat oleh Nyai Tamba. "Mudah-mudahan demamnya cepat sembuh" kata Nyai Tamba.
Keesokan harinya, Nyai Tambapun masih membuatkan jamu untuk Sekar Kedaton.
Setelah Sekar Kedaton minum jamu, badannya terasa tidak demam lagi, tetapi tidak lama kemudian terasa badan Sekar Kedaton kembali menjadi demam, dan itu sudah terjadi selama tiga hari sejak Gusti Putri Mas Cempaka minum jamu dari Nyai Tamba.
Nyai Tambapun menjadi heran, pengalamannya yang hampir sepanjang hidupnya merawat orang sakit, membuat dirinya mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang dipikirkan oleh Sekar Kedaton.
Nyai Tambapun kemudian menemui prajurit yang berjaga di ruang dalam, mohon diperkenankan menghadap Kanjeng Sultan, untuk menyampaikan hasil perawatannya selama beberapa hari.
Tak lama kemudian Nyai Tamba diperintahkan masuk kedalam ruang, disana telah menunggu Kanjeng Sultan Trenggana bersama Kanjeng Prameswari.
Setelah menyembah, maka Nyai Tambapun duduk bersimpuh dihadapan Kanjeng Sultan.
"Nyai Tamba" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba.
"Bagaimana hasil usahamu merawat putriku Sekar Kedaton yang sedang sakit ?" tanya Kanjeng Sultan.
"Mohon maaf Kanjeng Sultan dan Kanjeng Ratu, sudah tiga hari hamba merawat, mengamati dan memberi jamu kepada Gusti Sekar Kedaton, ketika Gusti Putri minum jamu, demamnya bisa sembuh, tetapi tidak lama kemudian badan Gusti Sekar Kedaton demam lagi" kata Nyai Tamba.
"Lalu apa kesimpulanmu tentang sakitnya Sekar Kedaton?" tanya Kanjeng Sultan.
"Ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Gusti Sekar Kedaton, sesuatu masalah yang berat, masalah yang dimasukkan didalam hati terlalu dalam, sesuatu yang hamba tidak tahu, kalau sesuatu itu ketemu, dan bisa memberi rasa nyaman kepada Gusti Putri, maka Gusti Putri akan sembuh" kata Nyai Tamba.
Kanjeng Sultan berpikir sejenak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian Kanjeng Sultanpun berkata :"Baiklah Nyai Tamba, kau boleh pulang dulu, tetapi kau tetap datang ke Kaputren, tetap merawat Sekar Kedaton, nanti aku yang akan mencari penyebab sakitnya Sekar Kedaton"
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, hamba mohon pamit" kata Nyai Tamba, lalu iapun menyembah, kemudian bergeser kepintu dan keluar dari ruang dalam.
Sesaat kemudian Kanjeng Sultan keluar ruangan dan memanggil seorang prajurit :" Prajurit, kau cari seorang emban, bilang kepadanya disuruh memanggil Nyai Madusari sekarang juga"
Prajurit yang saat itu sedang bertugas, Soma, berjalan ke dalam, dan disana terlihat ada emban yang bertubuh gemuk, sedang duduk mengantuk didepan pintu, lalu prajurit itupun mengatakan perintah dari Kanjeng Sultan:"Emban, kau pergilah ke Kaputren, Nyai Madusari diperintahkan menghadap Kanjeng Sultan"
"Sekarang ?" tanya emban prameswari.
"Tidak, selapan hari lagi" kata Soma. Emban yang gemuk mengangguk, tetapi iapun terkejut sampai hampir terlonjak, ketika Soma berbicara agak keras :"Ya sekarang !!"
"Soma, kau senangnya memang menganggu orang yang sedang mengantuk, kau tidak senang kalau melihat orang sedang santai" kata emban yang bertubuh gemuk sambil bersungut-sungut, dan dengan susah payah iapun berdiri dan berjalan menuju ke Kaputren.
Emban yang bertubuh gemuk, yang hatinya sedang kesal karena kantuknya terganggu, semakin bertambah kesal ketika prajurit yang bertugas menjaga Kaputren menyapanya :"Mau kemana kau ndut, jangan cemberut saja, nanti bisa berkurang manisnya"
"Sekali lagi kau panggil aku dengan sebutan itu, aku tidak mau lagi mencucikan pakaianmu" kata emban prameswari dan iapun segera masuk ke Kaputren dan berjalan memasuki ruangan Sekar Kedaton.
Didalam ruangan Sekar Kedaton, emban prameswari berbicara dengan Nyai Madusari dan memintanya untuk menghadap Kanjeng Sultan sekarang juga.
Mendengar perintah dari Kanjeng Sultan, degup jantung Nyai Madusari bertambah cepat.
"Aku disuruh menghadap Kanjeng Sultan sekarang ?" tanya Nyai Madusari.
"Ya, cepat, kau ditunggu Kanjeng Sultan" kata emban prameswari.
"Waduh celaka, Kanjeng Sultan pasti bertanya tentang sakitnya Gusti Putri" kata Nyai Madusari dalam hati, lalu iapun pamit ke Sekar Kedaton untuk ke menghadap Kanjeng Sultan di ruang dalam.
Nyai Madusari berjalan selangkah demi selangkah, betapa kakinya telah berubah menjadi bertambah berat, sehingga susah sekali kalau dipakai untuk melangkah menghadap Kanjeng Sultan.
"Ayo Nyai Menggung, cepat sedikit, kenapa jalannya lambat seperti keong begitu" kata emban prameswari.
"Iya iya, ini jalannya juga sudah cepat" kata Nyai Madusari.
(bersambung)